Di sini
Tuhan Allah mengambil persumpahan dengan beberapa makhluk yang Dia ciptakan,
yang samasekali itu adalah makhluk besar jika dibandingkan dengan kejadian
manusia. Mula sekali di Surat ini Tuhan bersumpah dengan matahari, dan matahari
pula yang menjadi nama Surat ini; “Demi matahari dan cahaya siangnya.” (ayat
1).
Karena
apabila matahari telah mulai terbit, kian lama dia akan kian tinggi dan kian
memancar pulalah cahaya siangnya. Maka terasalah betapa sangkut=pautnya
kehidupan manusia dengan cahaya matahari di siang hari itu.
Dalam ayat
ini ada disebut waktu Dhuha, yaitu sejak matahari mulai beransur panas,
sampai matahari di pertengahan langit. Waktu itu disebut waktu Dhuha.
Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsir Juzu’ ‘ammanya mengatakan bahwa matahari dijadikan
persumpahan oleh Tuhan agar kita perhatikan terbitnya dan terbenamnya, karena
dia adalah makhluk Tuhan yang besar dan dahsyat. Dan Tuhan ambil pula cahaya
siangnya jadi persumpahan karena cahaya itulah sumber kehidupan dan penerang
mencari petunjuk dalam alam ciptaan Tuhan yang luas ini. Di mana engkau akan
dapat hidup kalau cahaya matahari tak menerangi? Dan di mana engkau akan dapat
melihat sesuatu yang tumbuh dan berkembang? Bahkan di mana engkau dapat
mengetahui dirimu sendiri, kalau tak ada cahaya Sang Surya?
“Demi bulan
apabila dia mengikutinya.” (ayat 2). Yang dimaksud bulan mengikuti matahari ini
ialah di saat-saat bulan mencapai purnamanya, sejak 13 haribulan sampai 16
haribulan. Waktu itulah bulan penuh sebagaimana adanya kelihatan dari muka
bumi, sehingga malam pun mendapat sinaran dari bulan sepenuhnya sejak matahari
terbenam sampai fajar menyingsing. Oleh sebab itu persumpahan Ilahi tertuju di
sini bukan semata kepada bulannya, tetapi terutama lagi kepada perbandingan
cahayanya dengan cahaya matahari. Bukanlah maksud ayat ini bahwa bulan
sendirilah yang mengikuti matahari, sebab sebagai tersebut di dalam Surat 36,
Yaa-Siin ayat 40 perjalanan bulan itu jauh lebih cepat dari perjalanan
matahari, sehingga “Tidaklah selayaknya matahari menukar bulan”, sebab
perjalanan matahari itu lebih lambat (365 hari edaran satu tahun) dan bulan
lebih cepat (354 hari dalam setahun).
“Demi siang
apabila menampakkannya.” (ayat 3). Artinya, apabila hari telah pertambah siang,
bertambah nampak jelaslah matahari itu, bahkan adanya matahari yang jelas
itulah yang menyebabkan adanya siang. Karena di waktu itulah matahari yang
memancarkan cahaya itu menjadi lebih jelas. Sehingga jelaslah dalam ayat ini
betapa pentingnya cahaya itu bagi seluruh alam dalam kekeluargaan matahari,
terutama di muka bumi kita ini. Dan kepentingan perhatian kita di hadapan
cahaya itu bertambah lagi karena ayat yang berikutnya; “Demi malam apabila
menutupinya.” (ayat 4). Karena bila matahari telah terbenam datanglah malam.
Malam ialah saat-saat berpengaruhnya kegelapan, karena matahari tidak kelihatan
lagi. Dan kegelapan malam itu mempengaruhi kepada urat-urat saraf kita. Dengan
datangnya malam, yang matahari laksana tersimpan dahulu, kita pun dapat
beristirahat menunggu matahari terbit pula.
“Demi langit
dan apa yang mendirikannya.” (ayat 5). Setelah diambil perhatian kita kepada
matahari, bulan dan siang dan malam, pada yang kelima diperingatkanlah
keindahan langit itu sendiri, dan apa atau siapakah yang membina
langit yang demikian indah, yang kadang-kadang dinamai “gubah hijau”, demi
indah permainya di siang hari ketika awan beriring ke tepi, bukan berarak ke
tengah. Dan lebih indah lagi bila kelihatan di malam hari dengan hiasan
bintang-bintang, tidak pernah membosankan mata memandang, lebih-lebih lagi
mereka yang berperasaan halus.
“Demi bumi
dan apa yang menghamparkannya.” (ayat 6). Kelihatan pula keindahan bumi dengan
lautan dan daratannya, gunung dan ganangnya, danau dan tasiknya, rimba dan
padang belantaranya. Kayu-kayuannya, rumput-rumputannya, binatang-binatangnya,
ikannya di laut, ternaknya di padang. Sebagai ayat 5 tentang langit, perhatian
pun ditarik untuk memperhatikan apa yang menghamparkan bumi itu begitu
indah, dengan padang saujananya yang serenjana mata memandang. Alangkah dahsyatnya
kejadian bumi itu, apakah agaknya, atau siapakah yang menghamparkannya
sehingga manusia dapat hidup di dalam bumi terhampar itu? Di kedua ayat ini,
ayat lima dan ayat enam; dikatakan apa untuk mencari siapa!
Untuk
menegaskan dari apa kepada siapa, datanglah ayat selanjutnya;
“Demi sesuatu diri dan apa yang menyempurnakannya.” (ayat 7). Atau sesuatu
jiwa, yang dimaksud ialah peribadi seorang Insan, termasuk engkau, termasuk
aku. Sesudah kita disuruh memperhatikan matahari dan bulan, siang dan malam,
langit dan bumi dan latarbelakang segala yang nyata itu, yang di dalam filsafat
dinamai fisika, kita disuruh mencari apa metafisikanya, sampai
hendaknya kita menginsafi bahwa segala-galanya itu mustahil terjadi dengan
sendirinya. Semuanya teratur, mustahil tidak ada yang mengatur. Untuk sampai
kesana, sesudah melihat alam keliling, hendaklah kita melihat diri sendiri;
Siapakah AKU ini sebenarnya? Aku lihat matahari dan bulan itu, siang dan malam
itu, langit dan bumi itu, kemudian aku fikirkan; “Aku yang melihat ini sendiri
siapakah adanya?” Mula-mula yang kita dapati ialah; “Aku Ada!” bukti bahwa aku
ini ADA ialah karena aku berfikir. Aku Ada, karena aku bertanya. Sesudah Aku
yakin akan ADAnya aku, datanglah pertanyaanku terakhir; ”secara kebetulankah AKU
ADA ini? Secara kebetulankah aku ini berfikir? Dan apa artinya AKU ADA ini?
Siapakah yang aku? Apakah tubuh kasar ini, yang dinamai fisika pula.
Kalau hanya semata-mata tubuh kasar ini yang aku, mengapa waktu berhenti
bernafas dan orang pun mati? Dan barulah sempurna hidupku karena ada
gabungan pada diriku ini di antara badan dan nyawa. Dan nyawa itu pun adalah
sesuatu yang metafisika, di luar kenyataan! Maka lanjutlah pertanyaan! Apa dan
siapakah yang menyempurnakan kejadianku itu?”
Di sinilah
kita mencari Tuhan Maha Pencipta, setelah kita yakin akan adanya diri kita. Di
sinilah terletak pepatah terkenal:
“Barang
siapa yang telah mengenal akan dirinya, niscaya akan kenallah dia kepada
Tuhannya.”
Sedangkan
diri sendiri lagi menjadi suatu persoalan besar, apakah lagi persoalan tentang
mencari hakekat Tuhan. Maka akan nyatalah dan jelaslah Tuhan itu pada matahari
dengan cahaya siangnya, bulan ketika mengiringinya, siang ketika
menampakkannya, malam ketika menutupinya, langit yang jelas betapa kokoh
pendiriannya dan bumi yang jelas betapa indah penghamparannya; akhirnya diri
kita sendiri dengan serba-serbi keajaibannya.
“Maka
menujukkanlah Dia.” (pangkal ayat 8). Dia, yaitu Tuhan yang mendirikan langit
menghamparkan bumi dan menyempurnakan kejadian Insan. Diberi-Nya Ilham
diberi-Nya petunjuk “kepadanya.” Artinya kepada diri Insan tadi; “Akan
kejahatannya dan kebaikannya.” (ujung ayat 8).
Diberilah
setiap diri itu Ilham oleh Tuhan, mana jalan yang buruk, yang berbahaya, yang
akan membawa celaka supaya janganlah ditempuh, dan bersamaan dengan itu
diberinya pula petunjuk mana jalan yang baik, yang akan membawa selamat dan
bahagia dunia dan akhirat.
Artinya,
bahwa setiap orang diberi akal buat menimbang, diberikan kesanggupan menerima
Ilham dan petunjuk. Semua orang diberitahu mana yang membawa celaka dan mana
yang akan selamat. Itulah tanda cinta Allah kepada hamba-Nya. Di Surat Al-Balad
yang baru lalu pada ayat 10 dikatakan juga:
“Dan Kami
telah menunjukkan kepadanya dua jalan mendaki.”